Suatu
malam di hari Selasa, tepatnya tanggal 18 Oktober 2011, sekitar pukul
19:30 saya melakukan perjalanan ke Sekretariat pecinta alam yang saya
geluti untuk mengerjakan tugas penelitian fisika. Hari ini, setelah
seharian beraktivitas, saya merasa lelah. Sebenarnya, jika saya lebih
mementingkan diri sendiri, saya akan lebih memilih untuk beristirahat
dan belajar tentang mata kuliah yang dua hari lagi akan menggelar ujian.
Namun, saya sedang bersemangat untuk menyelesaikan tugas penelitian ini
dalam waktu dekat atau tepatnya besok hari.
Pukul 19:15 saya berangkat dari tempat tinggal sementara saya, atau banyak mahasiswa seperti saya yang menyebutnya kosan.
Saya berjalan ke jalan raya tempat dimana saya bisa menemukan kendaraan
untuk sampai ke tempat tujuan. Kendaraan yang akan dan selalu saya
gunakan adalah angkutan perkotaan yang lebih dikenal dengan sebutan angkot.
Untungnya saya tidak pelu berdiri seorang diri di pinggir jalan dan
menunggu sebuah angkot lewat. Sebuah angkot jurusan Lembang telah
terparkir di suatu bahu jalan. Sepertinya angkot tersebut telah menunggu
cukup lama. Saya punya perkiraan yang pasti bahwa saya harus menunggu
beberapa saat sebelum angkot ini tancap gas dari tempat berhentinya
sekarang. Dan perkiraan saya tak pernah meleset.
Hampir
15 menit saya harus menunggu di dalam angkot tersebut yang meskipun
memiliki ruangan yang cukup luas tapi tetap saja pengap oleh banyak
manusia yang menjejalinya. Suasana pengap itu semakin menjadi ketika
semakin banyak penumpang yang menggunakan jasa angkutan umum ini. Rasa
lelah ku semakin menyusut*Ahamdulillah dong. Namun, semangatku juga kena
imbasnya*Haduh. Aku merasakan kejenuhan dan kedongkolan pada sang supir
angkot. Tapi kedongkolanku tak berlangsung lama. Angkot pun tancap gas.
Sepertinya
sangat sulit untuk membuat semangatku berkobar lagi saat itu. Sebelum
sampai tujuan, terdapat satu tempat lagi yang biasa digunakan oleh para
supir angkot untuk memarkirkan angkotnya dan memaksimalkan muatannya.
Dan sekali lagi, keyakinanku menunjukkan taringnya.
Kali
ini hampir 30 menit aku menunggu agar angkot ini melaju kembali dengan
lancar. Angkot sudah penuh dengan penumpang. Namun, sang supir masih
memaksakan kehendaknya untuk menambah penumpang!! Aku geram dan kesal
pada kelakuan supir angkot ini. Bayangkan : angkot penuh dengan
penumpang saja sudah membuat mood ku anjlok menurun, apalagi kami
para penumpang harus berbagi sedikit saja tempat duduk bagi penumpang
baru yang pada akhirnya membuat pantat kami tidak mendapatkan pelayanan
yang memuaskan.
Sungguh tega para supir angkot. Tapi di dalam hati, aku merasa miris.
Aku
sering menggunakan jasa angkot ke tempat-tempat yang jauh dalam satu
kota. Sudah banyak jenis angkot dan sopir angkot yang aku ‘sewa’ untuk
mengarungi penjuru kota. Dari pengalamanku terdapat dua tipe supir
angkot untuk angkot yang biasa beroperasi di wilayah perkotaan, yaitu
supir dengan akreditasi “Pengetem” dan “Free Order”. Supir pengetem
biasanya sangat suka “mempermainkan perasaan” para penumpangnya dengan
memarkirkan angkotnya di suatu tempat yang strategis untuk menambah
penumpang ke dalam muatannya. Supir ini akan menunggu penumpang yang
harus datang ke angkotnya. Sopir dengan tipe “Free Order” adalah tipe
sopir yang paling saya suka. Sopir ini hanya tidak pernah melakukan
proses “pengeteman” sehingga perasaan penumpang pun berbunga-bunga
*lebay.
Sopir
angkot yang memiliki trayek kota menuju daerah yang secara
administratif di bawah kota pun dapat dikategorikan ke dalam dua
kategori di atas. Namun, baik “Pengetem” dan “Free Order” pada trayek
ini akan melakukan pengeteman dengan durasi yang lebih lama, bahkan bisa
dibilang sangat meresahkan penumpang (seperti pengalaman saya di atas).
Jika
kita berbicara masalah jenis-jenis supir angkot, tentu bukan hanya
dalam aspek modus operandi atau strategi pemasarannya (untuk mendapatkan
banyak penumpangn) saja yang dikaji, tapi juga kepribadian dari si
empunya angkot ini.
Saya
sering menemukan supir angkot yang suka senyum, menanyakan tujuan
dengan ramah (biasanya bukan angkot kota), memberikan kembalian dengan
ramah, kalah perang dengan penumpang terkait ongkos yang tidak sesuai
dengan jarak tempuh, yang memiliki ambisi untuk menjadi seorang pembalap
namun tidak memiliki kesempatan untuk mewujudkannya (sehingga angkot
dengan penumpangnya lah yang jadi mobil F1-nya) sehingga menjadi
pembali (pembalap liar), supir yang penuh amarah dalam menjalankan
angkot maupun memperlakukan penumpang karena ribut dengan istrinya di
telepon atau secara langsung (sang istri duduk di depan), bahkan aksi
tabrak-menabrak onderdil milik angkot yang lain karena kalah dalam
mendapatkan penumpang *saya pernah mengalami hal semacam ini dan tidak
mampu berbuat apa-apa
Dari serentetan kepribadian di atas, saya sampai pada suatu pertanyaan : apakah yang menyebabkan semua ini terjadi?
Lalu
saya mencoba mengkaji permasalahan yang melibatkan aspek lingkungan,
sosial, budaya dan politik ini terjadi. Dari segi lingkungan, saya
berpendapat bahwa hal ini berhubungan dengan keharusan manusia untuk
memenuhi kebutuhannya. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut
adalah dengan mencari pekerjaan. Di tengah pesatnya persaingan di era
globalisasi saat itu, tentunya hanya segelintir pekerjaan saja yang
dapat dipilih oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan di bawah
kualifikasi yang di butuhkan. Seseorang dengan pendidikan tertinggi SD
tidak akan mampu melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga ahli
berpendidikan S1. Hal itu sudah menjadi hal yang wajar dan logis.
Akhirnya tersisa lah beberapa pekerjaan yang dapat mereka pilih meskipun
tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Bagi mereka yang memiliki tekad yang kuat dan ambisi yang tinggi serta motivasi untuk maju, mereka cenderung menjadi enterpreneur dan
jika dijalani dengan serius mereka akan mendapatkan kesuksesan pada
akhirnya. Namun, bagi mereka yang tidak mempunyai semangat sebesar itu,
maka mereka mencari pekerjaan yang lain. Salah satu jenis pekerjaan
tersebut adalah supir angkot.
Ada
beberapa tipe supir angkot menurut aspek-spek tertentu dan hal ini
termasuk ke dalam kajian sosial. Beberapa calon supir angkot sanggup
untuk membeli angkot sendiri (dengan uang pinjaman dari 16 penjuru mata
angin) dan beberapa lainnya hanya bermodalkan bakat menyetir. Bagi tipe
1, atau kita sebut “juragan angkot pribadi”, mereka lebih leluasa untuk
mengatur jadwal kerja dan gaji tiap hari yang mereka inginkan (masih
dengan bayang-bayang untuk melunasi hutang pembelian angkot). Bagi tipe
2, atau kita sebut “Kreditor Angkot”, jadwal kerja memang dapat mereka
tentukan sendiri, tapi target operandi mereka ditentukan oleh si empunya
angkot. Jika sedang ramai, pada hari-hari libur atau jam pulang
sekolah, maka rezeki yang berlimpah akan mereka dapatkan. Dengan rezeki
berlimpah tersebut, mereka bisa memberikan nafkah yang cukup bagi
keluarga. *Hidup begitu indah
Namun,
jika ternyata hari sedang sepi, sekolah sedang libur, dan semakin
banyak masyarakat yang menggunakan angkutan pribadi, maka angka
pendapatan per hari mereka akan menurun. Penurunan ini tidak akan
menjadi masalah yang besar jika pendapatan mereka masih di atas angka
setoran. Tapi jika di bawah angka tersebut, jangankan ada pikiran
tentang cara menghidupi keluarga, cara mengejar setoran saja sudah
membuat mereka bad mood atau senewen. Jika mereka tidak
memberikan setoran, maka angkot yang mereka pinjami akan ditarik kembali
oleh si empunya angkot dan mereka akan kehilangan pekerjaan mereka. Hal
ini lah yang menjadi salah satu alasan dari maraknya operasi pengeteman
yang dilakukan oleh banyak angkot.
Apakah anda menemukan hal yang miris?
Mari kita melihat alur pembentukan masalah ini berdasarkan pengamatan saya :
Pengeteman
yang dilakukan angkot membuat banyak pelanggan yang kecewa dan beralih
ke angkutan pribadi yang lebih dapat diatur perjalanannya. Karena hal
tersebut, jumlah pelanggan angkot semakin berkurang. Hal ini membuat
supir semakin kesal terhadap mobil pribadi dan modus pengeteman semakin
sering terjadi. Banyaknya mobil pribadi semakin membuat kota-kota besar
sering mengalami kemacetan. Kemacetan ini diperparah dengan sikap
semena-mena supir angkot yang melakukan pengeteman bahkan di beberapa
titik macet. Mungkin salah satu penyebabnya adalah kekesalan supir
angkot terhadap keberadaan mobil pribadi dan ingin membuat “sasaran
balas dendam” mereka sama kesal dengan dirinya. Yang pada akhirnya,
judul alur ini menjadi “Balas Dendam : Angkot vs Mobil Pribadi” *Mual
Lalu ...
Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap permasalahan ini?
Jawaban
akan pertanyaan sejenis ini telah ditanamkan pada diri kita dari SD
lewat pelajaran kewarganegaraan (P4, PPKn atau PKn). Jawaban ini memang
benar tapi tidak selalu benar.
Menurut
pengamatan saya *saya mulai suka dengan frase ini he, masing-masing
pihak, dalam hal ini supir angkot dan masyarakat luas di luar sistem
supir angkot tersebut, harus memahami permasalahan ini sampai ke
akarnya. Memang mudah untuk diucapkan dan saya dapat menjamin bahwa
sangat sulit untuk dilakukan. Namun, bukan solusi yang ingin saya
tawarkan di sini.
Yang
saya inginkan adalah bagaimana anda mampu menggunakan hati nurani anda
dalam mengkaji atau menghadapi problematika yang berhubungan dengan
lingkungan, sosial dan budaya di sekitar kita. Terkadang masing-masing
dari dua subjek dalam permasalahan ini, supir angkot dan masyarakat
umum, haruslah saling memahami. Tidak ada kata egois lagi.
Wah, saya mulai melancarkan pemikiran idealisme nih.
Tapi, memang itulah yang dibutuhkan untuk menyikapi masalah ini.
Sebagai penumpang, kita memiliki kepentingan. Begitu pula dengan supir
angkot yang kita “sewa”. Jika saling merasa bahwa kebutuhan satu pihak
lebih penting dari pihak yang lainnya, maka masalah keegoisan lagi lah
yang muncul dan masalah ini tak akan selesai.
Nah, adakah diantara para pamiarsa yang punya sumbangsih intelektual problem solving *aduh bahasanya tinggi dan ngarang he, terhadap masalah ini???
0 komentar:
Posting Komentar