Rabu, 19 Oktober 2011


Ketika aku bersekolah di taman kanak-kanak di desa sebelah bersama Dahlia, Ayah mendapat tawaran pekerjaan dari saudara jauh kami. Saudara jauh itu bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar di kota dan ia memegang jabatan penting sehingga dapat memasukkan beberapa kerabatnya untuk bekerja di sana. Setelah Ayah menimbang-nimbang tawaran itu bersama ibu dan anggota keluarga lainnya, keputusan pun dibentuk. Ayah tak akan menjadi pegawai pabrik gula lagi, ayah tak akan tinggal di desa lagi, kami akan hidup dengan lebih baik, dan ayah menerima tawaran itu.

Beberapa hari setelah keputusan diambil, Ayah berangkat menuju tempat saudara jauh kami berada dan Alhamdulillah ia diterima bekerja di sana. Kami berdua, aku dan ibuku, sangat senang. Kemudian beberapa keputusan pun diambil. Kami sekeluarga, ayah, ibu, dan aku akan menetap di tempat kerja baru Ayah. Namun, keinginan itu harus menunggu hingga aku tamat TK sementara ayah sudah diterima di perusahaaan itu. Ibu dengan rela melepas Ayah untuk sementara waktu di tempat baru itu dan ayah berjanji sesekali ia akan pulang menjenguk kami. Dan ketika aku tamat TK, Ayah menepati janjinya. Sebulan sekali ia pulang dan ia berkata bahwa ia merindukan kami dan tidak sabar untuk membopong kami ke kota. Setelah lama menunggu hari, yang ditunggu pun datiang. Ayah menjemput kami dan, setelah pamitan pada semua keluarga dekat, kami berangkat menaiki bis antar kota.

Aku sangat senang sekaligus sedih. Aku senang karena akhirnya aku bisa hidup di kota, yang kata pembawa acara di TVRI adalah tempat dimana kita bisa membeli apa saja dan bisa ke tempat hiburan apa saja. Namun, dibalik itu semua, aku sedih bahwa aku harus meninggalkan saudara-saudaraku di sana. Abah, Emak, Uwak dan, terutama, Dahlia. Kami adalah anak sebatang kara di keluarga kami masing-masing. Ketika aku di desa kami sering bermain bersama-sama. Aku sedih ketika mengingat memori itu dan semakin sedih ketika aku sadar bahwa Dahlia tak akan punya teman dekat lagi dan aku pun demikian. Lingkungan baru akan selalu memberi dampak psikologis bagi kita. Kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada kita di lingkungan baru itu. Atau lebih tepatnya, kita tak tahu apa yang akan dilakukan oleh lingkungan baru itu pada kita. Aku yang ketika itu masih kecil pun merasaknnya. Namun, ibuku tak capai-capainya menegarkanku bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Kenyataan bahwa Dahlia akan menjadi kelas 2 dan berarti ia sudah punya teman baru membuatku tenang. Dan ibu bilang bahwa aku juga akan punya teman baru karena aku akan msuk SD. Horeee!!! Jiwa kanak-kanakku yang ceria muncul lagi.

Ibu memang benar, lingkungan baru ini tak seburuk yang aku bayangkan. Malah menurutku lingkungan baru ini sangat menyenangkan dan orang-orngnya pun bersahabat. Tetangga di depan rumahku adalah rekan kerja ayahku di kantornya. Begitu pun tetangga di samping rumahku. 

Setelah beberapa bulan tinggal di sana, aku baru mengerti bahwa semua orang yang tinggal di kompleks perumahan itu bekerja pada perusahaan yang sama. Dan kami yang bekerja pada perusahaan itu diberikan rumah yang dapat ditempati sampai masa pension tiba. Kenyataan bahwa kami tinggal di perumahan perusahaan yang gratis dan dekat secara emosial dengan tetangga karena satu pekerjaan membuat kami hidup tenteram. Namun, kenyataan bahwa semua kekuasaan kami akan hilang  terhadap semua ini ketika ayahku pensiun membuatku harus menelan ludah. Tapi itulah kekuasaan dan daya upaya manusia. Selalu ada batas pada segalanya karena manusia adalah makhluk dan setiap makhluk memiliki keterbatasan. Hanyalah Dia, Allah SWT, yang maha kuasa yang memiliki kekuasaan penuh dan tak terbatas. Karena dialah khalik, pencipta yng memiliki kekuasaan seutuhnya dan yang menciptakan keterbatasan yang dimiliki oleh makhluk-Nya.

Nilai-nilai kehidupan dan keislaman seperti inilah yang tertanam padaku semenjak aku tinggal di lingkungan baru ini, yang sekarang menjadi tempat tinggalku. Tempat tinggalku yang tidak jauh dari mesjid membuat orang tuaku nyaman menitipkanku mengaji di TPA (Tempat Pengkajian Al-Qur’an) mesjid itu. Aku yang telah menjadi siwi SD beserta teman-teman baruku yang lain mengaji (sebutan kami untuk mengkaji ilmu agama) dengan semangat. Tak jarang kegiatan ini diselingi acara bermain yang biasa dlakukan anak kecil, seperti petak umpat, lompat tali, gatrik dan lain-lain. Anak-anaknya pun memiliki bermacam-macam sifat. Ada yang pemarah, pelit, cengeng, pendiam, bawel, dan lain-lain. Bagiku semuanya mengasyikkan. Maha Suci Allah yang telah menciptakan perbedaan pada makhluk-Nya sehingga dunia terihat lebih indah oleh warna-warna, terdengar indah oleh bunyi-bunyi melodis dan lain sebagainya. Maha suci Allah yang menciptakan keindahan dan mencintai keindahan.

Di TPA ini aku mulai belajar semua hal tentang agama. Aku belajar tentang tauhid yang mengajarkanku bahwa Tuhan kita hanya satu, Pemilik Alam Semesta, yang memrintahkan malaikat, yang diciptakannya untuk mengatur sesuatu dan tak hentinya bermunajat kepadanya, menurunkan kalam Illahi yang mengalun sepanjang zaman layaknya al-Qur’an, mengutus para nabi untuk mencerdasan umat manusia akan kodrat dan tujuan hidupnya, yang menciptakan hari kiamat sebagai pengingat akan adanya kehidupan yang lebih kekal yaitu surga dan  neraka, dan yang mengatur segala makhluk yang diciptakan-Nya dari mulai semut yang giat bekerja sampai alam semesta dan peredarannya. Sungguh, semuanya begitu sempurna.

Kami belajar tentang tajwid, bagaimana kami membaca al-Qu’an dengan baik dan benar. Pada tahap ini kami mulai memperlihatkan intelektual masing-masing. Ada yang cepat tanggap menghapal huruf hijaiyyah, ada yang sudah sampai tingkat al-Qur’an dan bahkan ada yang tidak melanjutkan mengaji karena malu tak dapat menguasai satu huruf hijaiyyah pun. Yang sangat disayangkan adalah banyak orang tua yang membairkan keadaan ini menimpa anaknya. Sebagian orang tua di sini sibuk dengan statusnya sebagai karyawan kantor sehingga tidak jarang meminta jasa para pembantu untuk mengurus anaknya. Hal inilah yang disayangkan terjadi pada sebagian orang tua. Tugas mulia mendidik dan membentuk insan yang mukmin, muslim, dan mukhsin dengan lalai diabaikan, padahal ini adalah tugas mereka. Betapa mulia tugas orang tua mendidik anaknya yang merupakan titipan Allah. Dan anak-anak itu, sama seperti amanah yang lain, akan dimintai pertanggung jawabnya.

Alhamdulillah, ibuku sadar akan tugasnya. Ia menjadi ibu rumah tangga yang baik. Melayani ayahku dengan menyiapkan segala sesuatu, membantuku mengerjakan pelbagai PR sekolah, dan bersosialisasi dengan tetangga. Karena ibuku sadar bahwa tetangga adalah orang yang paling dekat bagi seorang muslim. Di tengah beberapa perselisihan antar tetangga yang terjadi di perumahan kami. Ibuku adalah salah satu tipe tetangga yang baik. Terbukti dengan selalu membantu tetangga yang kesusahan, mengadakan hajatan atau pesta pernikahan, dan lain sebagainya.

Sementara ayahku semakin sibuk dengan pekerjaannya. Tak jarang ia meminta izin pada ibuku untuk tak pulang beberapa hari karena ada rapat di luar kota. Ibuku mengizinkannya dan selalu memohon perlindungan Allah bagi ayahku yang sedang bertugas.

Namun, setelah aku beranjak remaja, tepatnya ketika aku menjadi siswi SMP dekat rumahku, ketidakberesan yang ada pada keluargaku mulai menguap. Ibu dan Ayah mulai sering bertengkar. Dulu ketika aku masih SD mereka pernah juga bertengkar sesekali, tapi itu pun hanya tentang kedatangan Ayah dari bepergiannya yang molor beberapa hari. Namun, setelah itu semuanya seperti sedia kala. Kami kembali menjelma menjadi keluarga yang harmonis. Aku yang berpikiran semakin dewasa mecoba menepis kemungkinan buruk yang terlintas dibenakku. Permasalahan adalah hal biasa dalam rumah tangga. Ketika masalah datang, setiap kepala yang berbeda akan menyumbangkan pemikirannya masing-asing. Dan mungkin saja pertengkaran kecil merupakan cara kedua orang tuaku menyelesaikan masalah. Toh sejauh ini semuanya baik-baik saja. Tak lupa ku memohon pada Sang Maha Pemelihara untuk memelihara keharmonisan kaluargaku dan membentengi kami dari mara bahaya. Amien.

Doa itu ternyata belum terkabulkan. Karena, tepatnya pada suatu malam, terdengar pertengkaran antara kedua orang tuaku. Lagi. Namun, pertengkaran itu tak wajar. Pada dini hari, sekitar jam dua sampai kira-kira jam tiga, Ayah baru pulang kerja dan Ibu dengan marah-marah menyambut kedatangan Ayah yang terlalu pagi ini. Pertengkaran tak dapat dihentikan. Ibu mulai melontarkan kata-kata aneh dengan sering, semacam : mabuk, perempuan, togel. Apa maksud semua ini? Dan tanpa diduga suara-suara barang pecah meramaikan pertengkarana pagi buta itu, suara-suara seperti, gelas, piring, tempat minum plastik, dan mungkin saja botol. Aku yang pura-pura tidur terlonjak kaget dan langsung meluncur ke tempat kejadian. Beruntung, malam itu adik Ayahku, yang sudah sebulan ini bekerja di perusahaan yang sama dengan Ayahku sebagai satpam, sedang ada di rumah.

Ketika ku memasuki TKP ku saksikan pemandangan yang tragis. Berbagai barang pecah berserakan di lantai. Piring setengah retak menyembul di atas sofa. Taplak meja, yang mungkin tadinya menjadi alas asbak, terhampar dengan lipatan tak terhingga di dekat televisi dengan asbak, yang sudah tak berbentuk, menyembul dari balik lipatannya. Yang lebih tragis lagi, kulihat ibuku yangg sedang memegang piring menangis lemas, ku hampiri ibuku yang telah belasan tahun merawatku itu. Ku peluk dia walaupun aku masih belum  tahu apa penyebab pertengkaran ini. Namun, sesuatu menguar di udara. Sesuatu yang berbau tajam dan asing bagiku. Lalu dari baik sofa yang menambah kekacuan interior di TKP itu menyembul tangan dan kaki seseorang. Di atas sofa itu ada pamanku yang sedang membawa ember dan mengguyurkan bergayung-gayung air pad sosok yang terkulai itu. Karena penasaran, kulepaskan pelukan Ibu dan aku memanjangkan leher.

Apa yang kulihat membuatku mundur beberapa langkah sementara ibuku yang melihatku tak mampu berbuat apa pun kecuali menangis. Tubuh yang kulihat adalah tubuh ayahku. Yah, tubuhnya memang tubuh ayahku. Tapi ia bukan ayahku seutuhnya. Raut muka tak ke-bapa-an, melainkan seperti seorang preman yang sedang keenakan. Teler. Lalu ku dengar suarnya dan itu suara ayahku, tapi kenapa ia tak henti-hentinya meracau tak karuan. Entah apa yang ia katakan aku tak mengerti atau lebih baik aku tak mau mengeti. Semuanya telah menjelaskan rasa penasaranku.

Bau asing itu bau menjijikkan. Alkohol. Minuman paling haram bagi umat islam, minuman yang membuat peminumnya dapat kehilangan akal sehat dan melakukan dosa-dosa besar. Aku ingat cerita ustad mangajiku yang menuturkan kisah tentang seorang mukmin yang taat yang dihadapkan pada beberapa pilihan oleh seorang penjahat. Ia diharuskan memilih melakukan satu dari tiga pilihan: membunuh bayi, mempekosa wanita, dan minum khamar yang kesemunya telah dipersiapakan. Karena ia tahu membunuh dan memperkosa adalah dosa yang besar ia lebih memilih khamar yang kelihatannya tak akan berdampak hebat bila diminumnya. Namun, celaka. Pilihannya berujung pada dosa-dosa besar lainnya. Kemabukannya membuatnya lupa diri dan memperkosa sang wanita kemudian membunuh si jabang bayi. Mukmin itu menyesal, namun dosanya sudah sangat besar. Dan saat itu, dihadapanku terdapat contoh yang lain. Ayahku seorang pemabuk, peminum minuman yang diharamkan oleh agama! Astgfirullah! Astagfirullah! ASTAGFIRULLAH!!!!!!!!!

Beruntung pamanku ada di TKP ketika kejadian terjadi. Allah telah mengutus pamanku sebagai penolong, jika tidak entah apa yang akan terjadi pada ibuku. Dan sementara pamanku dengan ekstra keras berusaha membangunkan ayahku, yang tak menunjukkan tanda-tanda kesadarannya, aku membawa Ibu ke dalam kamarku. Di sanalah ku pikir ibu bisa tenang. Kamar tidurnya akan semakin mengingatkannya pada kenangannya bersama Ayah. Kenangan-kenangangn yang indah yang dirangkai oleh sulur-sulur cinta dan aku sebagai buah hati yang mereka jaga dengan sulur itu. Kenangan indah itu sekarang telah tercabik-cabik tak karuan, telah menjadi puzzle yang butuh seumur hidup bagi kami untuk merangkainya kembali, menjadi abu yang tak mungkin lagi berubah menjadi kayu. Kenangan itu sudah hitam dan rapuh, tinggal menunggu sesuatu menghancurkannya. Dan sesuatu itu sedang mewujud dalam bentuk yang sangat jelas.

Di tempat tidurku yang nyaman ibu menceritakan segalanya, dengan backsound racauan ayah yang kusarankan untuk tak dihiraukan oleh ibuku. Awalnya ibu tak mau cerita karena hal ini kan mengganggu emosi remajaku, katanya. Namun, meskipun aku masih SMP insya Allah aku sudah siap. 

Apa yang ibu utarakan jelas merupakan gempa memori, gempa kenangan dan gempa batin yang meluluh-lantahkan dasar hatiku, meruntuhkan dinding kuat penyangga imanku, dan membumihanguskan kenaganku bersama ayahku. Tiga kata yang kudengar dalam pertengkaran itu semakin jelas ku pahami. Dan semakin ku coba memahami, semakin tak percaya aku di buatnya.

Semuanya berawal ketika ayah tinggal sendiri di tempat baru ini. Teman-barunya mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat. Ayahku entah kenapa mau saja. Dan di sana ia melakukan dosa yang sungguh takkan pernah ku ampuni. MABUK dan JUDI. Ibu berkata, dari dulu memang ayahku suka bermain remi, gapleh, dan semacamnya. Tai baru di dsini ia mencoba dengan cara baru, mencoba segalanya dengan taruhan uang. Entah sudah berapa juta uang yang telah ia bakar dengan nafsu syetannya itu. Astagfirulah!!!

Dan gempa yang satu ini lebih dahsyat dari gempa di kemudian hari yang menghancurkan negeri Nangroe Darussalam itu. Gempa itu dirasakan oleh banyak orang dan banyak orang yang membantu (semoga yang meninggal mendapat tempat yang layak di sisi Allah Rabbil Allamin). Namun, gempa yang menimpa keluarga kami harus kami sendiri lah yang menghadapinya. Terutama gempa itu dalam bentuk yang sedari dulu menjadi hal yang dikhawatirkan terjadi oleh umat islam. Godaan wanita. Ayahku telah terjerumus dan tersesat dalam jalan yang dipenuhi ranju-ranjau nafsu seks dan disetiri oleh birahi dan alkohol penyulut dosa besar. Ya Allah, sedang kau uji kah kami dengan seberat-beratnya? Semua yang terjadi selama itu, pertengkaran itu terjadi karena wanita perebut suami orang, dinas ke luar kota adalah pelesir ke rumah wanita perebut suami orang, dan gaji yang didapat dibuang percuma demi wanita perebut suami orang?!?!?!

Sungguh, aku tak menyangka ayahku yang dulu begitu baik dan penyayang berputar seratus delapan puluh derajat hanya karena wanita. Dan wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Dia bukan saudaranya, bukan ibunya, dan bukan adiknya. Wanita lain. Lau siapakah dia? SIAPAKAH DIA???

Ibuku dengan lemas menjawab, “Suatu hari ibu dengar kabar burung dari teman-teman ayahmu tentang ayahmu yang sering terlihat di kampung sebelah dan setelah dikorek informasi ternyata ayahmu setiap minggu, setiap jadwal dinas-ke-luar-kota-nya, ada di rumah salah seorang janda di kampung itu. Ibu merasa marah dan setelah ayahmu terlambat pulang lama sekali beberapa hari lalu, ibu memberanikan diri mendatangi rumah si janda ditemani informan teman ayahmu itu. Lalu kau tahu apa yang ibu dapatkan disana??”, ibuku gemetar hebat karena tangisnya dan aku menggeleng keras mengalirkan bulir-bulir air mata.

“Ayahmu. . ibu lihat. . ayah .mu”, jantungku berdegup sekencang-kencangnya. Apa yang dilakukan ayahku????

“Ayahmu. . . di depan mata ibumu ini. .ayahmu BERZINA DENGAN WANITA TUA BANGKA TENPA SEHELAI KAIN PUN!!!!!””

Hatiku mencelos. Air mata tak kuasa lagi ku bendung. ASTAGFIRULLAH!! ASTAGFIRULLAH!!! ASTAGFIRULLAH!!! Aku menangis sejadi-jadinya dan ku minta dada ibuku sebagai sandaranku. Kupeluk erat dia, kudekap dia, kutumpahkan segala penat di dadanya, segala kekecewaanku akan ayahku di dadanya, dan ia merangkul diriku.

Saat itu ku merasa hina. Ayahku seorang pemabuk. Ayahku seorang penjudi. Dan ayahku seorang pezina!!! Bayangan masa lalu melintas dengan cepat seperti kereta api di pelupuk mataku. Kenanganku bersama Ayah di ulang tahun ku yang ke-5, ketika dia dengan motor yang ia pinjam dari tentangga mengantarkanku ke sekolah dan ia dengan bangga menerima raport rangkig 2-ku. Meskipun tidak menjadi yang terbaik, ayahku dengan bangga mengumumkan, “Inilah anakku yang paling hebat!” dan aku bangga dengannya.

Dan, sekarang akankah aku dengan bangga mengumumkan, “Inilah ayahku yang paling hebat!!” Namun, apa yang bisa ku dapatkan dari lelaki bejat seperti dia yang tega menghancurkan hati ibuku? Bagaimana tanggapan orang lain terhadap kami? Bagaimana mereka bisa rela membiarkan anaknya bermain dengan si Melati, anak tukang mabuk, anak tukang judi, anak tukang zina???? 

Ini kah, yang kata banyak orang disebut, karma? Ibuku yang dulu dengan berani membela Uwak yang menjadi seorang madu, sekarang mengalami hal serupa. Namun kali ini ia yang tersakiti.
Sakit itu sungguh sangat perih dan bagiku semuanya tak akan sama lagi.

0 komentar:

Posting Komentar