Ketika
aku bersekolah di taman kanak-kanak di desa sebelah bersama Dahlia,
Ayah mendapat tawaran pekerjaan dari saudara jauh kami. Saudara jauh itu
bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar di kota dan ia memegang
jabatan penting sehingga dapat memasukkan beberapa kerabatnya untuk
bekerja di sana. Setelah Ayah menimbang-nimbang tawaran itu bersama ibu
dan anggota keluarga lainnya, keputusan pun dibentuk. Ayah tak akan
menjadi pegawai pabrik gula lagi, ayah tak akan tinggal di desa lagi,
kami akan hidup dengan lebih baik, dan ayah menerima tawaran itu.
Beberapa
hari setelah keputusan diambil, Ayah berangkat menuju tempat saudara
jauh kami berada dan Alhamdulillah ia diterima bekerja di sana. Kami
berdua, aku dan ibuku, sangat senang. Kemudian beberapa keputusan pun
diambil. Kami sekeluarga, ayah, ibu, dan aku akan menetap di tempat
kerja baru Ayah. Namun, keinginan itu harus menunggu hingga aku tamat TK
sementara ayah sudah diterima di perusahaaan itu. Ibu dengan rela
melepas Ayah untuk sementara waktu di tempat baru itu dan ayah berjanji
sesekali ia akan pulang menjenguk kami. Dan ketika aku tamat TK, Ayah
menepati janjinya. Sebulan sekali ia pulang dan ia berkata bahwa ia
merindukan kami dan tidak sabar untuk membopong kami ke kota. Setelah
lama menunggu hari, yang ditunggu pun datiang. Ayah menjemput kami dan,
setelah pamitan pada semua keluarga dekat, kami berangkat menaiki bis
antar kota.
Aku
sangat senang sekaligus sedih. Aku senang karena akhirnya aku bisa
hidup di kota, yang kata pembawa acara di TVRI adalah tempat dimana kita
bisa membeli apa saja dan bisa ke tempat hiburan apa saja. Namun,
dibalik itu semua, aku sedih bahwa aku harus meninggalkan
saudara-saudaraku di sana. Abah, Emak, Uwak dan, terutama, Dahlia. Kami
adalah anak sebatang kara di keluarga kami masing-masing. Ketika aku di
desa kami sering bermain bersama-sama. Aku sedih ketika mengingat memori
itu dan semakin sedih ketika aku sadar bahwa Dahlia tak akan punya
teman dekat lagi dan aku pun demikian. Lingkungan baru akan selalu
memberi dampak psikologis bagi kita. Kita tak akan pernah tahu apa yang
akan terjadi pada kita di lingkungan baru itu. Atau lebih tepatnya, kita
tak tahu apa yang akan dilakukan oleh lingkungan baru itu pada kita.
Aku yang ketika itu masih kecil pun merasaknnya. Namun, ibuku tak
capai-capainya menegarkanku bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.
Kenyataan bahwa Dahlia akan menjadi kelas 2 dan berarti ia sudah punya
teman baru membuatku tenang. Dan ibu bilang bahwa aku juga akan punya
teman baru karena aku akan msuk SD. Horeee!!! Jiwa kanak-kanakku yang
ceria muncul lagi.
Ibu
memang benar, lingkungan baru ini tak seburuk yang aku bayangkan. Malah
menurutku lingkungan baru ini sangat menyenangkan dan orang-orngnya pun
bersahabat. Tetangga di depan rumahku adalah rekan kerja ayahku di
kantornya. Begitu pun tetangga di samping rumahku.
Setelah
beberapa bulan tinggal di sana, aku baru mengerti bahwa semua orang
yang tinggal di kompleks perumahan itu bekerja pada perusahaan yang
sama. Dan kami yang bekerja pada perusahaan itu diberikan rumah yang
dapat ditempati sampai masa pension tiba. Kenyataan bahwa kami tinggal
di perumahan perusahaan yang gratis dan dekat secara emosial dengan
tetangga karena satu pekerjaan membuat kami hidup tenteram. Namun,
kenyataan bahwa semua kekuasaan kami akan hilang terhadap semua ini
ketika ayahku pensiun membuatku harus menelan ludah. Tapi itulah
kekuasaan dan daya upaya manusia. Selalu ada batas pada segalanya karena
manusia adalah makhluk dan setiap makhluk memiliki keterbatasan.
Hanyalah Dia, Allah SWT, yang maha kuasa yang memiliki kekuasaan penuh
dan tak terbatas. Karena dialah khalik, pencipta yng memiliki kekuasaan
seutuhnya dan yang menciptakan keterbatasan yang dimiliki oleh
makhluk-Nya.
Nilai-nilai
kehidupan dan keislaman seperti inilah yang tertanam padaku semenjak
aku tinggal di lingkungan baru ini, yang sekarang menjadi tempat
tinggalku. Tempat tinggalku yang tidak jauh dari mesjid membuat orang
tuaku nyaman menitipkanku mengaji di TPA (Tempat Pengkajian Al-Qur’an)
mesjid itu. Aku yang telah menjadi siwi SD beserta teman-teman baruku
yang lain mengaji (sebutan kami untuk mengkaji ilmu agama) dengan
semangat. Tak jarang kegiatan ini diselingi acara bermain yang biasa
dlakukan anak kecil, seperti petak umpat, lompat tali, gatrik dan
lain-lain. Anak-anaknya pun memiliki bermacam-macam sifat. Ada yang
pemarah, pelit, cengeng, pendiam, bawel, dan lain-lain. Bagiku semuanya
mengasyikkan. Maha Suci Allah yang telah menciptakan perbedaan pada
makhluk-Nya sehingga dunia terihat lebih indah oleh warna-warna,
terdengar indah oleh bunyi-bunyi melodis dan lain sebagainya. Maha suci
Allah yang menciptakan keindahan dan mencintai keindahan.
Di
TPA ini aku mulai belajar semua hal tentang agama. Aku belajar tentang
tauhid yang mengajarkanku bahwa Tuhan kita hanya satu, Pemilik Alam
Semesta, yang memrintahkan malaikat, yang diciptakannya untuk mengatur
sesuatu dan tak hentinya bermunajat kepadanya, menurunkan kalam Illahi
yang mengalun sepanjang zaman layaknya al-Qur’an, mengutus para nabi
untuk mencerdasan umat manusia akan kodrat dan tujuan hidupnya, yang
menciptakan hari kiamat sebagai pengingat akan adanya kehidupan yang
lebih kekal yaitu surga dan neraka, dan yang mengatur segala makhluk
yang diciptakan-Nya dari mulai semut yang giat bekerja sampai alam
semesta dan peredarannya. Sungguh, semuanya begitu sempurna.
Kami
belajar tentang tajwid, bagaimana kami membaca al-Qu’an dengan baik dan
benar. Pada tahap ini kami mulai memperlihatkan intelektual
masing-masing. Ada yang cepat tanggap menghapal huruf hijaiyyah,
ada yang sudah sampai tingkat al-Qur’an dan bahkan ada yang tidak
melanjutkan mengaji karena malu tak dapat menguasai satu huruf hijaiyyah
pun. Yang sangat disayangkan adalah banyak orang tua yang membairkan
keadaan ini menimpa anaknya. Sebagian orang tua di sini sibuk dengan
statusnya sebagai karyawan kantor sehingga tidak jarang meminta jasa
para pembantu untuk mengurus anaknya. Hal inilah yang disayangkan
terjadi pada sebagian orang tua. Tugas mulia mendidik dan membentuk
insan yang mukmin, muslim, dan mukhsin
dengan lalai diabaikan, padahal ini adalah tugas mereka. Betapa mulia
tugas orang tua mendidik anaknya yang merupakan titipan Allah. Dan
anak-anak itu, sama seperti amanah yang lain, akan dimintai pertanggung
jawabnya.
Alhamdulillah,
ibuku sadar akan tugasnya. Ia menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Melayani ayahku dengan menyiapkan segala sesuatu, membantuku mengerjakan
pelbagai PR sekolah, dan bersosialisasi dengan tetangga. Karena ibuku
sadar bahwa tetangga adalah orang yang paling dekat bagi seorang muslim.
Di tengah beberapa perselisihan antar tetangga yang terjadi di
perumahan kami. Ibuku adalah salah satu tipe tetangga yang baik.
Terbukti dengan selalu membantu tetangga yang kesusahan, mengadakan
hajatan atau pesta pernikahan, dan lain sebagainya.
Sementara
ayahku semakin sibuk dengan pekerjaannya. Tak jarang ia meminta izin
pada ibuku untuk tak pulang beberapa hari karena ada rapat di luar kota.
Ibuku mengizinkannya dan selalu memohon perlindungan Allah bagi ayahku
yang sedang bertugas.
Namun,
setelah aku beranjak remaja, tepatnya ketika aku menjadi siswi SMP
dekat rumahku, ketidakberesan yang ada pada keluargaku mulai menguap.
Ibu dan Ayah mulai sering bertengkar. Dulu ketika aku masih SD mereka
pernah juga bertengkar sesekali, tapi itu pun hanya tentang kedatangan
Ayah dari bepergiannya yang molor beberapa hari. Namun, setelah itu
semuanya seperti sedia kala. Kami kembali menjelma menjadi keluarga yang
harmonis. Aku yang berpikiran semakin dewasa mecoba menepis kemungkinan
buruk yang terlintas dibenakku. Permasalahan adalah hal biasa dalam
rumah tangga. Ketika masalah datang, setiap kepala yang berbeda akan
menyumbangkan pemikirannya masing-asing. Dan mungkin saja pertengkaran
kecil merupakan cara kedua orang tuaku menyelesaikan masalah. Toh sejauh
ini semuanya baik-baik saja. Tak lupa ku memohon pada Sang Maha
Pemelihara untuk memelihara keharmonisan kaluargaku dan membentengi kami
dari mara bahaya. Amien.
Doa
itu ternyata belum terkabulkan. Karena, tepatnya pada suatu malam,
terdengar pertengkaran antara kedua orang tuaku. Lagi. Namun,
pertengkaran itu tak wajar. Pada dini hari, sekitar jam dua sampai
kira-kira jam tiga, Ayah baru pulang kerja dan Ibu dengan marah-marah
menyambut kedatangan Ayah yang terlalu pagi ini. Pertengkaran tak dapat
dihentikan. Ibu mulai melontarkan kata-kata aneh dengan sering, semacam :
mabuk, perempuan, togel. Apa maksud semua ini? Dan tanpa diduga
suara-suara barang pecah meramaikan pertengkarana pagi buta itu,
suara-suara seperti, gelas, piring, tempat minum plastik, dan mungkin
saja botol. Aku yang pura-pura tidur terlonjak kaget dan langsung
meluncur ke tempat kejadian. Beruntung, malam itu adik Ayahku, yang
sudah sebulan ini bekerja di perusahaan yang sama dengan Ayahku sebagai
satpam, sedang ada di rumah.
Ketika
ku memasuki TKP ku saksikan pemandangan yang tragis. Berbagai barang
pecah berserakan di lantai. Piring setengah retak menyembul di atas
sofa. Taplak meja, yang mungkin tadinya menjadi alas asbak, terhampar
dengan lipatan tak terhingga di dekat televisi dengan asbak, yang sudah
tak berbentuk, menyembul dari balik lipatannya. Yang lebih tragis lagi,
kulihat ibuku yangg sedang memegang piring menangis lemas, ku hampiri
ibuku yang telah belasan tahun merawatku itu. Ku peluk dia walaupun aku
masih belum tahu apa penyebab pertengkaran ini. Namun, sesuatu menguar
di udara. Sesuatu yang berbau tajam dan asing bagiku. Lalu dari baik
sofa yang menambah kekacuan interior di TKP itu menyembul tangan dan
kaki seseorang. Di atas sofa itu ada pamanku yang sedang membawa ember
dan mengguyurkan bergayung-gayung air pad sosok yang terkulai itu.
Karena penasaran, kulepaskan pelukan Ibu dan aku memanjangkan leher.
Apa
yang kulihat membuatku mundur beberapa langkah sementara ibuku yang
melihatku tak mampu berbuat apa pun kecuali menangis. Tubuh yang kulihat
adalah tubuh ayahku. Yah, tubuhnya memang tubuh ayahku. Tapi ia bukan
ayahku seutuhnya. Raut muka tak ke-bapa-an, melainkan seperti seorang
preman yang sedang keenakan. Teler. Lalu ku dengar suarnya dan itu suara
ayahku, tapi kenapa ia tak henti-hentinya meracau tak karuan. Entah apa
yang ia katakan aku tak mengerti atau lebih baik aku tak mau mengeti.
Semuanya telah menjelaskan rasa penasaranku.
Bau
asing itu bau menjijikkan. Alkohol. Minuman paling haram bagi umat
islam, minuman yang membuat peminumnya dapat kehilangan akal sehat dan
melakukan dosa-dosa besar. Aku ingat cerita ustad mangajiku yang
menuturkan kisah tentang seorang mukmin yang taat yang dihadapkan pada
beberapa pilihan oleh seorang penjahat. Ia diharuskan memilih melakukan
satu dari tiga pilihan: membunuh bayi, mempekosa wanita, dan minum
khamar yang kesemunya telah dipersiapakan. Karena ia tahu membunuh dan
memperkosa adalah dosa yang besar ia lebih memilih khamar yang
kelihatannya tak akan berdampak hebat bila diminumnya. Namun, celaka.
Pilihannya berujung pada dosa-dosa besar lainnya. Kemabukannya
membuatnya lupa diri dan memperkosa sang wanita kemudian membunuh si
jabang bayi. Mukmin itu menyesal, namun dosanya sudah sangat besar. Dan
saat itu, dihadapanku terdapat contoh yang lain. Ayahku seorang pemabuk,
peminum minuman yang diharamkan oleh agama! Astgfirullah!
Astagfirullah! ASTAGFIRULLAH!!!!!!!!!
Beruntung
pamanku ada di TKP ketika kejadian terjadi. Allah telah mengutus
pamanku sebagai penolong, jika tidak entah apa yang akan terjadi pada
ibuku. Dan sementara pamanku dengan ekstra keras berusaha membangunkan
ayahku, yang tak menunjukkan tanda-tanda kesadarannya, aku membawa Ibu
ke dalam kamarku. Di sanalah ku pikir ibu bisa tenang. Kamar tidurnya
akan semakin mengingatkannya pada kenangannya bersama Ayah.
Kenangan-kenangangn yang indah yang dirangkai oleh sulur-sulur cinta dan
aku sebagai buah hati yang mereka jaga dengan sulur itu. Kenangan indah
itu sekarang telah tercabik-cabik tak karuan, telah menjadi puzzle yang
butuh seumur hidup bagi kami untuk merangkainya kembali, menjadi abu
yang tak mungkin lagi berubah menjadi kayu. Kenangan itu sudah hitam dan
rapuh, tinggal menunggu sesuatu menghancurkannya. Dan sesuatu itu
sedang mewujud dalam bentuk yang sangat jelas.
Di tempat tidurku yang nyaman ibu menceritakan segalanya, dengan backsound
racauan ayah yang kusarankan untuk tak dihiraukan oleh ibuku. Awalnya
ibu tak mau cerita karena hal ini kan mengganggu emosi remajaku,
katanya. Namun, meskipun aku masih SMP insya Allah aku sudah siap.
Apa
yang ibu utarakan jelas merupakan gempa memori, gempa kenangan dan
gempa batin yang meluluh-lantahkan dasar hatiku, meruntuhkan dinding
kuat penyangga imanku, dan membumihanguskan kenaganku bersama ayahku.
Tiga kata yang kudengar dalam pertengkaran itu semakin jelas ku pahami.
Dan semakin ku coba memahami, semakin tak percaya aku di buatnya.
Semuanya
berawal ketika ayah tinggal sendiri di tempat baru ini. Teman-barunya
mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat. Ayahku entah kenapa mau saja.
Dan di sana ia melakukan dosa yang sungguh takkan pernah ku ampuni.
MABUK dan JUDI. Ibu berkata, dari dulu memang ayahku suka bermain remi,
gapleh, dan semacamnya. Tai baru di dsini ia mencoba dengan cara baru,
mencoba segalanya dengan taruhan uang. Entah sudah berapa juta uang yang
telah ia bakar dengan nafsu syetannya itu. Astagfirulah!!!
Dan
gempa yang satu ini lebih dahsyat dari gempa di kemudian hari yang
menghancurkan negeri Nangroe Darussalam itu. Gempa itu dirasakan oleh
banyak orang dan banyak orang yang membantu (semoga yang meninggal
mendapat tempat yang layak di sisi Allah Rabbil Allamin).
Namun, gempa yang menimpa keluarga kami harus kami sendiri lah yang
menghadapinya. Terutama gempa itu dalam bentuk yang sedari dulu menjadi
hal yang dikhawatirkan terjadi oleh umat islam. Godaan wanita. Ayahku
telah terjerumus dan tersesat dalam jalan yang dipenuhi ranju-ranjau
nafsu seks dan disetiri oleh birahi dan alkohol penyulut dosa besar. Ya
Allah, sedang kau uji kah kami dengan seberat-beratnya? Semua yang
terjadi selama itu, pertengkaran itu terjadi karena wanita perebut suami
orang, dinas ke luar kota adalah pelesir ke rumah wanita perebut suami
orang, dan gaji yang didapat dibuang percuma demi wanita perebut suami
orang?!?!?!
Sungguh,
aku tak menyangka ayahku yang dulu begitu baik dan penyayang berputar
seratus delapan puluh derajat hanya karena wanita. Dan wanita itu bukan
siapa-siapa baginya. Dia bukan saudaranya, bukan ibunya, dan bukan
adiknya. Wanita lain. Lau siapakah dia? SIAPAKAH DIA???
Ibuku
dengan lemas menjawab, “Suatu hari ibu dengar kabar burung dari
teman-teman ayahmu tentang ayahmu yang sering terlihat di kampung
sebelah dan setelah dikorek informasi ternyata ayahmu setiap minggu,
setiap jadwal dinas-ke-luar-kota-nya, ada di rumah salah seorang janda
di kampung itu. Ibu merasa marah dan setelah ayahmu terlambat pulang
lama sekali beberapa hari lalu, ibu memberanikan diri mendatangi rumah
si janda ditemani informan teman ayahmu itu. Lalu kau tahu apa yang ibu
dapatkan disana??”, ibuku gemetar hebat karena tangisnya dan aku
menggeleng keras mengalirkan bulir-bulir air mata.
“Ayahmu. . ibu lihat. . ayah .mu”, jantungku berdegup sekencang-kencangnya. Apa yang dilakukan ayahku????
“Ayahmu. . . di depan mata ibumu ini. .ayahmu BERZINA DENGAN WANITA TUA BANGKA TENPA SEHELAI KAIN PUN!!!!!””
Hatiku
mencelos. Air mata tak kuasa lagi ku bendung. ASTAGFIRULLAH!!
ASTAGFIRULLAH!!! ASTAGFIRULLAH!!! Aku menangis sejadi-jadinya dan ku
minta dada ibuku sebagai sandaranku. Kupeluk erat dia, kudekap dia,
kutumpahkan segala penat di dadanya, segala kekecewaanku akan ayahku di
dadanya, dan ia merangkul diriku.
Saat
itu ku merasa hina. Ayahku seorang pemabuk. Ayahku seorang penjudi. Dan
ayahku seorang pezina!!! Bayangan masa lalu melintas dengan cepat
seperti kereta api di pelupuk mataku. Kenanganku bersama Ayah di ulang
tahun ku yang ke-5, ketika dia dengan motor yang ia pinjam dari
tentangga mengantarkanku ke sekolah dan ia dengan bangga menerima raport
rangkig 2-ku. Meskipun tidak menjadi yang terbaik, ayahku dengan bangga
mengumumkan, “Inilah anakku yang paling hebat!” dan aku bangga
dengannya.
Dan,
sekarang akankah aku dengan bangga mengumumkan, “Inilah ayahku yang
paling hebat!!” Namun, apa yang bisa ku dapatkan dari lelaki bejat
seperti dia yang tega menghancurkan hati ibuku? Bagaimana tanggapan
orang lain terhadap kami? Bagaimana mereka bisa rela membiarkan anaknya
bermain dengan si Melati, anak tukang mabuk, anak tukang judi, anak
tukang zina????
Ini
kah, yang kata banyak orang disebut, karma? Ibuku yang dulu dengan
berani membela Uwak yang menjadi seorang madu, sekarang mengalami hal
serupa. Namun kali ini ia yang tersakiti.
Sakit itu sungguh sangat perih dan bagiku semuanya tak akan sama lagi.
0 komentar:
Posting Komentar