Rabu, 19 Oktober 2011


Namaku adalah Melati, nama yang begitu indah seindah bunga melati. Nama itu diberikan oleh kedua orang tuaku, Ayah dan Ibu, yang sangat mencintaiku dan menantikan kehadiranku di muka bumi ini karena aku adalah anak pertama mereka. Kebahagiaan yang mereka rasakan sungguh tak terkira, karena setelah menunggu selama dua tahun bayi yang mereka nantikan lahir ke bumi ini, bayi yang mereka nantikan dan dapat mereka dekap dan kecup. Apalagi bayi yang akhirnya mereka beri nama Melati selanjutnya adalah satu-satunya bayi yang dilahirkan oleh sang Ibu.

Aku dilahirkan di keluarga yang hidup lumayan berkecukupan. Untuk sementara waktu, dari mulai ketika orang tuaku menikah hingga aku dilahirkan, Ayah dan Ibu tinggal bersama Abah dan Emak, yaitu kakek nenekku dari pihak ibu. Abah dan Emak pada mulanya tak menyetujui pernikahan kedua orang tuaku, terutama Abahku yang keras dan tegas. Abah beralasan bahwa keadaan Ayahku yang masih muda dan belum bekerja tak akan mampu mencukupi kebutuhan keluarga ‘calon’ Ayah dan Ibuku. Akhirnya, Ayah, yang bertemu Ibu lewat pertandingan volley persahabatan itu, mencari pekerjaan. Dan setelah bekerja menjadi pegawai sebuah pabrik gula, Ayah datang ke rumah Abah dan Emak untuk melamar ibu. Beberapa bulan kemudian sebuah pesta pernikahan digelar di rumah Abah dan Emak yang terletak di pinggir jalan raya. Sebuah janur kuning melambai indah di pintu gerbang pagar. Banyak orang yang menghadiri pesta itu dan banyak pemuda pula yang patah hatinya dengan menikahnya sang kembang desa, Ibuku.

Roda terus berputar dan begitu pun hidup terus berjalan. Ayah dan Ibu mencoba membangun mahligai keluarga dari awal. Keputusan ini mereka realisasikan lewat pindahnya kediaman kami yang semula berada di rumah Abah dan Emak ke kediaman kakaknya Abah yang ditinggal mati. Dari rumah itulah Ibu dan Ayah berjuang membangun mahligai rumah tangga bata per bata, batu per batu, genting per genting semuanya tertancap kuat dengan ikatan cinta. Dan di dalam rumah itu pula, seorang bayi perempuan cantik bernama Melati dilahirkan.

Ayah masih bekerja sebagai pegawai pabrik gula dan Ibu tak bekerja. Ibu setiap harinya mengurusku yang masih bayi bersama-sama dengan Uwak, panggilanku pada kakaknya ibu yang perempuan, karena Uwak juga sedang mempunyai seorang bayi perempuan  yang sama cantiknya. Bayi itu bernama, sebutlah, Dahlia. Aku dan Dahlia dibesarkan bersama. Terkadang kami tidur di atas kasur yang sama pada sore yang dingin dan diayun pada ayunan yang bersebelahan pada siang yang panas ketika kedua ibu kami sibuk memasak

.

Saat yang paling membahagiakan bagi Ibu adalah ketika Ayah pulang. Ia bersyukur kepada Allah SWT karena telah menjaga suaminya selama perjalanan hingga ia tiba di rumah dalam keadaan sehat wal afiat. Dan ibu akan semakin senang ketika ayah membawa oleh-oleh berupa beberpa kantong gula dan oleh-oleh lainnya. Oleh-oleh itu dibagikan oleh ibuku ke kerabat terdekat, termasuk Abah, Emak, dan Uwak. Ibu yang merasa dekat dengan Uwak, satu-satunya kakak perempuan yang ia miliki, selalu memberikan bagian yang lebih besar dari kerabat yang lain padanya. Ibu selalu kasihan pada Uwak. Kenyataan yang Uwak jalani sungguh miris : ia adalah seorang madu atau istri muda.

Yah, kenyataan ini baru aku tahu jauh beberapa tahun kemudian. Yang jelas, Uwak masih gadis ketika ia berkenalan dengan seorang tentara ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) atau TNI saat ini. Entah kenapa, mungkin ketika ia masih kecil ia berhutang jasa pada tentara atau sebagainya, Uwak muda adalah gadis yang mengidolakan menjadi istri tentara. Dan ketika datang seorang tentara beberapa umur lebih tua darinya, tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Aku tak tahu apakah Uwak tahu bahwa tentara itu telah menjadi milik orang lain atau tidak, yang jelas Uwak mau dipersunting oleh tentara itu dan, pada keadaan yang sama, Abah dan Emak merestui pernikahan mereka.

Sesuatu yang diawali dengan tidak baik akan berakhir dengan yang tidak baik pula. Ibarat pepata, “apa yang kau tanam itulah yang kau tuai”. Dan beberapa bulan setelah pernikahan Uwak, nasib buruk bertamu di ambang pintu keluarga kami. Beberapa orang, wanita dan laki-laki serta anak kecil, menyatroni rumah kami. Orang-orang tersebut mencari suami Uwak dan, entah tahu dari mana, mereka dapat melacak keberadaan suami Uwak. Apakah ada teman tentara itu yang melaporkan pada orang-orang itu? Atau . . Akh, yang jelas semuanya telah terlambat, nasi telah menjadi bubur dan kami tahu bahwa orang-orang itu adalah keluarga suami uwak dari istri pertamanya. Ibu yang baru mendengar kabar itu otomatis kaget dan dengan penuh amarah, yang berlandaskan kasih sayang yang begitu besar pada kakak perempuan satu-satunya itu, ia beranikan diri untuk melawan intimidasi dan provokasi yang dilancarkan istri pertama suami Uwak yang berasal dari desa nun jauh. Setiap ada kunjungan dan ancaman kepada keluarga yang berasal dari desa nun jauh itu, ibuku lah yang menjadi vokal perlawanan. Dialah yang menjadi pion penyerang maupun benteng pertahanan ketika utusan desa nun jauh berkunjung untuk menuntut hak istri tertua. Mereka meminta sang tentara untuk memberi penjelasan atas segalanya, memberikan hak pada istri pertama dan menyelesaikan segalanya bersama-sama.

Akhirnya, melalui berbagai mediasi dan rundingan yang bersifat kekeluargaan, kedua belah pihak mencapai suatu kesepakatan. Kedua istri harus rela berbagi suami. Ini adalah hal yang menyakitkan. Bagi semua orang tentunya tak akan sudi jika orang yang kita cintai menjadi milik orang lain. Itu akan lebih menyakitkan jika dengan setengah hati kita harus terang-terang membagi cinta kita, tubuh dan hati orang yang kita cinta dengan orang lain. Melihatnya bermesraan dengan orang lain merupakan siksaan batin, belum lagi melihatnya tersenyum dan bahagia karenanya. Yang lebih menyakitkan adalah istri pertama harus merelakan sang suami menanamkan benih cintanya pada perempuan lain, yang artinya suami akan mempunyai anak dari perempuan itu. Dan kasih sayang yang selama ini penuh diberikan pada keluarganya tak akan sama lagi. Anak-anak dari kedua istri akan menjadi saudara seayah yang tak dapat dipungkiri lagi. Berbekal kenyataan itu dan keyakinan bahwa seglanya akan baik-baik saja, masalah ini pun terselesaikan dengan jalan damai. Dan kedua belah pihak merasa nyaman bahkan mungkin tak ingin mengganggu satu sama lain.

Namun, permasalahan yang selesai akan digantikan oleh permasalahan yang lain. Itulah hidup.

Kami masih keluarga yag bahagia setelah semua itu terjadi. Uwak kembali pada kehidupan biasanya meskipun ia tahu hidupnya tak akan sama lagi. Orang-orang akan memandangnya dengan tatapan berbeda. Tapi Uwakku seorang yang berpegang teguh pada prinsip dan tegar. Ia tahu ia telah membuat kesalahan, seperti semua orang yang lahir ke bumi ini. Dan orang-orang yang memandang berbeda padanya pun memiliki kesalahan. Bedanya kita tak tahu apa kesalahan mereka dan kita tak ingin sibuk mencari tahu, karena kesalahan sendiri saja sudah membuat kita takut masuk neraka.

0 komentar:

Posting Komentar